Tuesday, January 25, 2011

AIMI: Jangan Ragukan ASI Eksklusif 6 Bulan

shutterstock
Ilustrasi menyusui
JAKARTA, KOMPAS.com — Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) mengimbau para ibu untuk tidak pernah ragu memberikan ASI eksklusif selama 6 (enam) bulan. 

Pernyataan itu diungkap AIMI menyusul artikel yang dikeluarkan British Medicine Journal (Fewrell), yang menyimpulkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak harus sampai 6 bulan. Artikel tersebut menurut AIMI telah menimbulkan meresahkan masyarakat dan khususnya para ibu.

Dalam siaran persnya kepada Kompas.com, Selasa (25/1/2011), AIMI menegaskan, artikel BMJ tersebut tidaklah memiliki dasar yang kuat. AIMI sebagai organisasi nirlaba yang berbasis kelompok sesama ibu menyusui setuju dengan pemaparan Unicef  dan WHO bahwa artikel tersebut tak memiliki bukti ilmiah yang sistematik. Mereka hanya menganalisis ulang tanpa memerlukan penelitian ilmiah.

"Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan kami adopsi dari rekomendasi WHO/Unicef dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI),” ujar Ketua AIMI Mia Sutanto.

Wakil Ketua AIMI Nia Umar menyarankan para ibu lebih aktif dan kritis dalam menerima informasi apa pun sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh hasil riset yang belum tentu valid.

"Belum lagi riset tersebut memiliki latar belakang konflik kepentingan yang bisa jadi merupakan upaya-upaya pihak tertentu yang memiliki kepentingan lain,” ujarnya.

WHO sebagai lembaga internasional menjelaskan, artikel tersebut tidaklah berdasarkan ulasan sistematik. Ulasan yang sistematik telah dilakukan oleh Kramer dan Kakuma (2009) dalam bukunya Optimal Duration of Exclusive Breastfeeding Review, yang meneliti perbandingan perkembangan bayi yang secara ekslusif menyusui 6 bulan dengan 3 bulan memperlihatkan berbedaan yang signifikan.

Keuntungan menyusui selama 6 bulan antara lain mencegah infeksi gastroin, penurunan berat badan ibu, dan penundaan periode menstruasi ibu. Hal ini tidak menyebabkan berkurangnya infeksi maupun alergi seperti yang dipaparkan oleh Fewrell.

Serupa dengan WHO, Unicef pun berpendapat, artikel yang dimuat BMJ tidak berdasarkan ilmu-ilmu baru, tetapi menganalisis ulang penelitian yang sebelumnya.

Ditambah lagi, menurut Unicef, perlu diketahui pula 3 dari 4 penulis jurnal ini sudah memiliki kontrak dengan perusahaan susu formula sehingga pemberian makanan yang dipercepat akan sangat menguntungkan bagi perusahaan tersebut.

Unicef juga mematahkan teori Fewrell yang menyebutkan, mempercepat pemberian makanan untuk bayi dapat mengurangi alergi dan mampu memperkenalkan sayuran sehingga terhindar oleh obesitas. Padahal, pemberian makanan tambahan yang terlalu cepat—terlebih yang mengandung gluten—dapat mengakibatkan risiko kolik.

Alergi yang sudah dibawa karena keturunan belum tentu terhindar dengan pemberian makanan yang dipercepat. Hal ini tidak dapat digeneralisasi, diperlukan penelitian yang lebih dalam lagi di setiap masing-masing alergi.

Pengenalan makanan secepat mungkin, menurut Fewrell, dapat dilakukan dengan mengenalkan anak ke makanan yang pahit yang kemudian dapat mudah dan cepat mengenal sayuran sehingga mampu menghindari obesitas ketika besar nanti.

Hal ini dipatahkan oleh Unicef. Pengenalan rasa pahit kepada anak melalui ASI sangat bergantung dengan makanan yang dimakan ibunya. Memperkenalkan makan langsung untuk mencegah obesitas dinilai kurang relevan.

"Pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang sehat, adekuat, dan buatan sendiri (tidak instan) adalah kelanjutan dari tahap ASI eksklusif, tentunya dengan tetap melanjutkan pemberian ASI sampai anak berusia 2 tahun atau lebih," pesan AIMI dalam pernyataannya.
Source : kompas.com

No comments: