Tuesday, November 30, 2010

Celakalah Tsalabah..!

Seperti hari-hari sebelumnya, Tsalabah telah bersiap di shaf terdepan, persis di belakang Nabi Muhammad SAW. Muadzin sudah mengumandangkan Iqomah tanda shalat Ashar akan segera dimulai. Nabi sendiri yang menjadi imam saat itu. Tsalabah shalat dengan khusyuk, mengikuti gerakan Nabi dengan baik.
 
“Assalamualaikum warrahmatulloh…” Nabi memalingkan wajahnya ke kanan lalu ke kiri tanda sholat telah selesai diikuti oleh makmum. Tsalabah dengan tergesa-gesa bangkit dari duduknya. Setengah berlari ia bergegas meninggalkan mesjid. 



 
“Kenapa sih Tsalabah itu? Ia selalu terburu-buru pergi setelah selesai shalat. Tak pernah ia duduk berdzikir lebih dulu. Seperti shalat orang munafik saja,” kata salah seorang jemaah berkasak kusuk.
“Iya. Padahal kalau sedang shalat kayaknya khusyuuuuuk banget,” timpal temannya.
“Sssst...mungkin ia lagi ada urusan,” yang lain menengahi.

Kejadian tersebut berulang setiap hari. Akhirnya Nabi merasa harus menegurnya, maka ia memanggil Tsalabah untuk menghadap. Ia bertanya mungkinkah Tsalabah mempunyai urusan yang sangat mendesak sehingga ia selalu pulang terburu-buru.
 
“Shalat seperti itu tidak baik. Jadi seperti shalatnya orang munafik,” Nabi menasehati. Tsalabah tertunduk sedih.
“Saya memang orang yang paling tidak beruntung di Madinah. Untuk shalat saja saya hanya punya satu kain dan harus bergantian dengan istriku di rumah. Itu sebabnya saya tidak bisa berlama-lama di mesjid seperti yang lain. Takutnya istri saya nanti tidak kebagian waktu shalat.”
 
Terdengar suara ber ‘ooooh’ panjang dari para jemaah yang ikut mendengarkan.
“Tapi bukan berarti saya pemalas. Saya sudah bekerja begitu keras untuk mengumpulkan rizki tapi ternyata Alloh belum memberikan pertolongan,” lanjut Tsalabah.Tsalabah terengah-engah saat tiba di pntu rumahnya. Ia tadi berlari begitu cepat karena waktu shalat hampir habis.

“Hampir saja aku tidak shalat,” ucap isterinya sambil bergegas menunaikan shalat.
“Yang mulia Nabi tadi menanyaiku. Ia ingin tahu kenapa aku selalu shalat terburu-buru,” kata Tsalabah.
“Lalu apa yang kau katakana?” tanya istrinya penasaran.
“Yah aku ceritakan saja bahwa saking miskinnya kita hanya punya satu kain yang harus dipakai bergantian. Sepertinya Nabi memakluminya,” jawabnya.
“Apakah kau meminta Nabi untuk mendoakan kita? Kau tahu kan. Doa Nabi itu makbul. Mintalah ia untuk berdoa kepada Alloh supaya kita diberi kekayaan. Alloh pasti mengabulkannya,” pinta isterinya penuh semangat.
“Ah aku malu meminta seperti itu. Disangkanya kita tidak mensyukuri nikmat yang Alloh berikan. Bagaimana kalau Nabi murka.”
“Cobalah dulu!” desak istrinya.

Terpaksa esoknya Tsalabah menemui Nabi di rumahnya.
“Ada apa wahai Tsalabah? Kenapa kau tampak risau?” Nabi tersenyum menyambutnya.
“Eh anu Yang Mulia. Ee...saya ingin memintamu untuk mendoakan keluarga kami. Mintakanlah kepada Alloh untuk memberi kita kekayaan. InsyaAlloh kami akan lebih giat beribadah. Saya pasti tidak akan terburu-buru pulang setelah shalat karena tak perlu lagi berebut kain dengan istriku. Dan kami bisa bersedekah kepada fakir miskin.” Tsalabah tertunduk malu.
Nabi menghela nafas.
 
“Kenapa kau ingin sekali menjadi kaya Tsalabah?”
“Kami bosan dengan kemiskinan kami. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk meningkatkan ibadah kami. Tidak bisa bersedekah apalagi berzakat. Sepertinya kami orang termalang di jagat ini,” desah Tsalabah.
“Apakah kau pernah kelaparan Tsalabah?” tanya Nabi.
“Tidak Yang Mulia.”
 
Nabi kembali tersenyum.
“Tidak cukupkah aku menjadi contohmu? Aku juga miskin sepertimu. Aku tidur hanya beralaskan pelepah kurma. Kami sekeluarga bahkan sering berpuasa karena tidak ada persediaan makanan yang bisa kami makan. Bersabarlah. Sesungguhnya Alloh bersama orang-orang yang sabar. InsyaAlloh pahala ibadahmu lebih besar dibandingkan mereka yang lebih lapang darimu.”
Tsalabah hanya mengangguk-angguk kecil.

Isteri Tsalabah tidak begitu puas dengan jawaban Nabi. Ia mendesak suaminya untuk meminta sekali lagi.
“Bilang saja, ukuran kesabaran kita pastilah tidak sama dengan beliau. Kita kan bukan Nabi,” dorong isterinya.
“Aku begitu malu menghadap Nabi tadi. Apaplagi jika sekarang harus meminta untuk kedua kalinya.” Tsalabah mencoba menolak.
 
“Kalau kau tidak berani, aku yang akan menghadap Nabi,” ancam isterinya.
Tsalabah terpaksa menyetujuinya.
Nabi dengan sabar mendengarkan penuturan Tsalabah. Ia menghela nafas dan dengan murung menengadahkan wajahnya sambil terpejam.
“Baiklah. Aku akan meminta Alloh untuk menolongmu. Berjanjilah padaku bahwa kau akan semakin giat beribadah jika Alloh nanti berkenan memberikan kelebihan rizki,” kata Nabi.
Mata Tsalabah bersinar-sinar.
 
“Aku berjanji. Engkaulah saksinya wahai Nabi,” kata Tsalabah cepat-cepat.
Nabi mengangguk. Ia mulai memanjatkan doa yang diamini Tsalabah dengan jantung berdebar.
Perubahan berlangsung dengan sangat singkat. Kambing Tsalabah yang hanya dua ekor dan sudah tua tiba-tiba beranak pinak dengan cepat. Padang rumput yang dulu lengang kini penuh dengan kambing miliknya. Warga berebut membeli susu kambing darinya karena menurut mereka rasanya lebih enak dan gurih. Tsalabah menjadi kaya raya.

Suatu hari, setelah selesai berdzikir, Nabi menyadari bahwa ia tak pernah melihat lagi Tsalabah berdiri di belakangnya.
“Kemana Tsalabah?” tanya Nabi.
“Oh Tsalabah sudah tidak pernah lagi shalat berjamaah,” jawab seorang sahabat. “Semenjak hartanya berlimpah, ia sibuk menghitungnya. Tak ada waktu lagi untuk sekedar shalat berjamaah.”
Nabi terdiam dan mendesah. Tampak kesedihan membayang di wajahnya.
“Aku tahu hal ini akan terjadi,” batin Nabi.

Tiba saatnya pengumpulan zakat harta tahunan. Nabi menghimbau bagi mereka yang mampu untuk membayar zakat hartanya. Zakat itu nantinya dipakai untuk membantu warga yang kurang mampu. Para sahabat dengan giat mendatangi para saudagar. Bersama-sama mereka menghitung berapa zakat yang harus diberikan.
Seorang sahabat mendatangi rumah Tsalabah. Ia memintanya untuk membayar zakatnya.
 
“Kenapa aku harus membayar zakat? Zakat itu seperti upeti. Hanya tawanan perang yang harus membayar upeti. Aku tidak pernah berperang melawan Nabi, jadi aku tidak harus bayar pajak,” tolak Tsalabah.
“Zakat fungsinya untuk membersihkan harta, karena di dalam harta yang kita punyai tersimpan hak-hak anak yatim dan orang yang tak mampu, beda sekali artinya dengan upeti.” Sahabat mencoba menjelaskan.
“Pokoknya aku tidak mau bayar zakat. Semua harta ini adalah hasil jerih payahku. Tidak ada hubungannya dengan anak yatim atupun orang miskin.” Tsalabah tetap keras kepala.
 
“Ternyata kau memang telah berubah Tsalabah. Harta telah membutakanmu. Aku akan laporkan hal ini kepada Nabi.” “Bilang saja. Aku tidak takut,” tantang Tsalabah.Sahabat bergegas menemui Nabi dan menceritakan penolakan Tsalabah. Wajah Nabi merona merah menahan marah.
 
“Celakalah Tsalabah,” ujar Nabi.
Sahabat yang hadir saat itu langsung maklum bahwa sebentar lagi malapetaka akan menimpa Tsalabah. Seseorang menyampaikan berita itu kepada Tsalabah.
Tsalabah tersedak minumannya saking ketakutannya.
“Aduh apa yang harus kulakukan? Kalau Nabi marah dan mendoakanku supaya aku jatuh miskin, bagaimana nasibku nanti?” tangisnya. 

“Ya sudah, coba saja minta maaf. Siapa tahu kau masih bisa diampuni. Jangan lupa bawa zakatmu juga!”
Tsalabah menggiring puluhan kambingnya ke hadapan Nabi.
“Yang Mulia maafkan aku. Ini, aku bawa zakatku. Aku akan membawanya lagi kalau yang ini kurang,” Tsalabah memohon.
 
“Kami tidak membutuhkan zakatmu lagi Tsalabah. Bawa pulang sajalah lagi,” tolak Nabi.
“Aduh celaka benar aku!” tangis Tsalabah ketakutan.
Seperti halnya kekayaannya yang datang begitu cepat, mereka menhilang dengan cepat pula. Mula-mula warga yang tadinya antri membeli susu kambingnya kini semua kabur karena air susu kambingnya menjadi basi dan bau. Kambingnya hilang satu persatu, ada yang mati karena sakit, dimakan serigala atau tersesat ke dalam hutan. Ditambah lagi padang rumput yang dulu hijau tiba-tiba menjadi kering dan tandus sehingga kambing-kambingnya mati kelaparan. Dalam hitungan minggu saja Tsalabah kembali menjadi miskin, bahkan lebih miskin dari sebelumnya.

Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang bersyukur.

Friday, November 26, 2010

Surat Org Minang Buat Pak SBY

(saya copas bulat-bulat dari teman yang mengcopas juga bulat bulat dari temannya dimana temannya juga

Pak SBY, kami warga di pesisir Sumbar, mati saja yang belum. Kalaulah Bapak berkantor di Padang, takkan terpicingkan mata oleh bapak, meski malam telah larut. Pak Gubernur kami, sekarang sudah kurus. Kemarin bersama Waka Polda, Wagub, Walikota Padang, mengimbau rakyat untuk tidak resah. Pejabat kami kurang tidur sekarang, Pak. Bagaimana bisa tidur, di mana-mana rakyat ketakutan akan isu gempa besar. Sudahkah Bapak tahu akan hal itu?

Pak SBY yang terhormat… Maksud hati hendak membangun jalan evakuasi, membangun shelter, mendinding laut, tapi kami tak punya uang. Pemerintah pusat tak peduli. Kami tahu tak peduli, karena kata Bappenas, tak ada dana pusat untuk membuat shelter di Sumbar. Akan Bapak biarkan saja kami mati disapu tsunami, jika monster itu datang? Sekarang Pak, tiap sebentar isu meruyak, lewat SMS, dari mulut ke mulut, resume rapat interen pejabat pemerintah disebar PNS tak bertanggungjawab. Kalau SMS terorisme, secepat kilat Densus 88 bergerak. Dijemput malamnya orang. Tapi tiba di SMS teror gempa, kenapa tak bisa, Pak? Kami seperti terhukum mati menunggu eksekusi. Ulama kami sudah bertunas mulutnya memberi nasihat, tapi kami takut juga. Jiwa yang resah adalah penyakit, sedang hati yang riang adalah obat. Yang terjadi hati kami diperparah oleh pakar. Tim Sembilan yang Bapak bentuk datang ke Padang, hanya untuk bilang: “Itu gempa di Mentawai baru buntutnya, yang akan kita tunggu bapaknya, ini bukan mempertakut, tapi harus disampaikan,” katanya. Tim ini, melibas urusan BMKG. Padahal negara memercayakan kepada BMKG, namun Tim Sembilan lebih jago dan merasa berkompeten. Maka takutlah seisi kota, takutlah seisi kampung, dari ujung ke ujung. Setelah itu tim hebat tersebut pergi ke Jakarta, ke pangkuan istri dan anak-anaknya. Ketika gempa datang, yang sibuk justru BMKG.

Pak SBY yang tercinta… Waktu pemilu 80 persen suara rakyat Sumbar untuk Bapak, maka sewajarlah kini, ketika kami memerlukan bantuan, Bapak bantu kami. Suratkabar Singgalang menawarkan, agar laut Sumbar didinding. Biayanya takkan sampai Rp20 triliun. Sekali angguk saja oleh Bapak, beres semua. Ini lebih penting dibanding Jembatan Selat Sunda. Dinding laut itu ada di Jepang, di Korea dan di sejumlah negara lainnya. Bentuknya seperti Tembok Cina. Bisa untuk jalan di atasnya. Kira-kira tingginya 10 sampai 15 meter. Panjangnya, orang PU yang bisa mengukurnya Pak. Sekalian bisa untuk lokasi rekreasi, bahkan jalan tol bisa dibuat di atasnya Pak. Bukankah Bapak akan membuat jalur lintas barat Sumatra? Dinding laut itu saja jadikan jalan. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampau. Bisa Bapak bayangkan musibah tsunami Aceh, untuk rehab rekon (RR)nya saja habis uang minimal Rp75 triliun. Kerugian yang terjadi, empat kali lipatnya, barangkali. Akibat amuk alam ini, tidak kurang dari 132 ribu orang Aceh meninggal dan 37 ribu orang dinyatakan hilang. Apalah artinya yang Rp20 triliun untuk mendinding laut Pak. Atau habis dulu orang Minang oleh tsunami, baru kemudian dibentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Sumbar. Okelah, tak ada uang untuk dinding laut, untuk shelter juga boleh. Padang memerlukan setidaknya 100 shelter. Sebanyak itu pula di wilayah lain di Sumbar. Tiap shelter Rp30 miliar. Kata Bappenas, tak ada dana untuk itu. Disuruhnya pemerintah daerah “kreatif”. Itu sama dengan membunuh namanya. Bagaimana perencanaan pembangunan, bisa melupakan mitigasi? Lupa akan nasib rakyat, kecewa berat kami dengan Bappenas. Hentikanlah agak sejenak membangun jalan tol di Pulau Jawa itu, alihkan uangnya untuk Sumbar. Apakah untuk membangun shelter, escape building, dan jalan evakuasi atau dinding laut.

Pak SBY, jalan evakuasi saja di Padang sudah tujuh tahun tak selesai. Uang untuk membebaskan tanah tak kunjung cukup. Kasihlah kami uang untuk pembebasan jalan itu saja dulu, sudah besar hati kami, Pak. Ini kan tidak, selalu saja jawabannya klise, “pusat tak ada uang untuk pembebasan tanah”. Kalau untuk proyek biasa, bisa diterima, tapi untuk proyek kemanusiaan, apa tidak bisa pusat turun tangan? Kadang kami di Sumbar merasa jauh dan sepi sendiri. Kenapa pemerintah pusat tak peduli lagi pada kami. Sedih hati kami di sini. Mohon temani kami dalam masa-masa sulit ini Pak. Kami sedang gamang. Hanya kepada Tuhan kami bisa mengadu, berdoa, berserah diri.

Kalau Bapak mau membantu, kami tawarkan tujuh hal untuk meminimalkan dampak tsunami di Sumbar. Ketujuhnya dinding laut, relokasi penuh warga pesisir Sumbar, relokasi zone merah saja, buat shelter, buat ecape building, jalur evakuasi, tanam trembesi dan bakau di pantai atau reklamasi. Sampai hari ini, hanya satu yang sudah ada yaitu satu unit shelter yaitu SMA 1 Padang. Itupun bantuan Yayasan Budhi Suci, bukan uang pemerintah. Pemerintah daerah takkan bisa berbuat apa-apa, kalau pusat tak membantu. Penyakitnya Pak, kementerian dan Bappenas, kalau tak dilobi, tak dihiraukannya nasib rakyat. Apa perlu lagi lobi-lobi semacam itu, sementara kami sedang gundah gulana? Jika Bapak memerlukan sepucuk surat yang ditandatangani seluruh rakyat, kami siap membuatnya. Kami tak takut mati Pak, sebab ajal sudah tersurat di Arasy. Mati hari ini, pasti mati. Tapi, bukankah kita perlu berikhtiar? Apalagi rakyat Sumbar adalah bagian integral dari Indonesia.

Pak SBY yang terhormat… Jujur saja, bangsa yang besar ini, berhutang sejarah pada kami orang Minang. Kami tak minta dibayar, tapi berbuat baiklah pada saat yang tepat. Saatnya sekarang. Kalau pada 2011 hanya rapat ke rapat saja, janji ke janji saja, maka kami akan menjadi rakyat yang patah arang. Pak SBY… Maafkan saya yang sudah lancang menulis seperti ini. Apa boleh buat ditangkap intel pun sudah risiko saya. Tak ada pilihan lain, Bapak harus turun tangan. Ah, jika saja Hatta, Sjahrir, Tan Malaka,Yamin, Agus Salim, masih hidup, mungkin nasib kami takkan semalang sekarang. Hari ini pasti dipanggilnya Bapak ke rumahnya. “Tolong kampuang kami ya, Pak Presiden,” kata Hatta, suara beliau antara terdengar dan tidak. “Tolong itu Sumbar, lumbungnya demokrasi,” kata Sjahrir. “Demi rakyat jelata yang menderita setiap hari, bantu Ranah Minang,” kata Datuk Tan Malaka. “Minangkabau adalah libero dalam pembentukan Negara Kesatuan RI, bantu sekarang, rakyatnya sedang nestapa,” kata Pak Yamin. “Belum bersekolah orang di tempat lain, orang Minang sudah studi ke Belanda, buat sekolah jadikan shelter,” kata Agus Salim. Tapi tidak. Beliau telah tiada. Kami sepi sendiri Pak Presiden SBY. Wassalam. (*)